Halmahera Selatan– Gelombang penolakan terhadap aktivitas pertambangan PT Intim Meaning Sentosa (IMS) terus bergulir. Perusahaan tambang yang beroperasi di Desa Fluk, Kecamatan Obi Selatan, Halmahera Selatan, dinilai telah melanggar hukum dan menimbulkan keresahan sosial di tengah masyarakat.
Warga Desa Bobo, yang wilayahnya berdekatan dengan lokasi pertambangan, sejak awal tegas menolak kehadiran IMS karena dianggap merusak lingkungan dan mengancam ekosistem setempat. Namun, penolakan itu justru direspons dengan langkah kontroversial oleh pihak perusahaan, yakni merekrut warga Desa Bobo sebagai tenaga kerja harian.
"Kami menilai PT IMS sudah keterlaluan. Mereka bukan hanya merusak alam, tapi juga sengaja menciptakan konflik sosial di tengah masyarakat. Ini sangat berbahaya," ujar Nikolas Kurama, politisi Partai NasDem yang juga merupakan warga asli Desa Bobo, saat ditemui Selasa (22/04).
Lebih jauh, Nikolas mengungkapkan fakta mengejutkan yang terungkap dalam Rapat Dengar Pendapat (RDP) bersama DPRD Halmahera Selatan pada 13 Februari 2025 lalu. Dalam forum tersebut diketahui bahwa dokumen Analisis Mengenai Dampak Lingkungan (AMDAL) milik PT IMS telah kadaluwarsa dan belum diperbaharui. Tidak hanya itu, izin lingkungan yang menjadi syarat wajib bagi setiap kegiatan pertambangan juga belum dikantongi oleh perusahaan.
"Ini jelas pelanggaran berat terhadap UU No. 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup, serta UU Minerba. Penegakan hukum harus dilakukan secara tegas tanpa kompromi," tegas Nikolas.
Desakan untuk menertibkan PT IMS juga datang dari tingkat nasional. Senator asal Maluku Utara, Dr. Gerald Taliawao, sebelumnya telah menyuarakan penolakan terhadap aktivitas perusahaan tersebut dalam forum parlemen di Senayan. Ia meminta agar pemerintah pusat turun tangan menertibkan perusahaan-perusahaan tambang yang tidak taat regulasi.
Dukungan terhadap masyarakat Desa Bobo juga datang dari kalangan tokoh agama. Gereja Protestan Maluku (GPM) melalui Sidang Klasis GPM Pulau-pulau Obi yang digelar pada 30 Maret 2025 di Desa Wayaloar, menyatakan sikap tegas menolak kehadiran PT IMS. Seluruh pendeta se-Klasis bersatu menyuarakan perlawanan terhadap aktivitas tambang yang dianggap mencederai nilai keadilan sosial dan merusak ciptaan Tuhan.
Masyarakat kini berharap pemerintah dan aparat penegak hukum tidak tutup mata terhadap pelanggaran yang terjadi. Pertanyaannya, apakah hukum akan ditegakkan demi rakyat dan kelestarian lingkungan, atau justru tunduk pada kekuatan modal? (Red/tim)